Mengupas Tuntas Kepribadian Islam

Salam sukses mulia hunny,, Kali ini, hanum mau share makalah tentang Kepribadian Islam. Melihat anak-anak jaman sekarang, bikin prihatin ya hunny. Walaupun sudah banyak pendidikan-pendidikan karakter Islam yang diterapkan di beberapa sekolah terpadu, tapi tetep aja, masih sangat banyak umat yang tidak berkepribadian baik. Nah buat para Ibu, dan Calon ibu,, ayo tanamkan kepribadian islam sejak dni ke anak-anak kita. Agar supaya budi pekerti luhur seperti yang diajarkan nenek monyang dapat kembali nampak di hadapan kita bersama. Selamat membaca hunny...


KEPRIBADIAN ISLAM

(SYAKHSHIYAH ISLAMIYAH)


Dalam kehidupan manusia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial senantiasa mengalami warna warni kehidupan. Berbagai macam cara dilakukan agar manusia dapat memperoleh kebahagiaan dan terhindar dari hal-hal yang mengecewakan. Mampu tidaknya seseorang dalam mencapai keinginannya tergantung dari vitalitas, temperamen, watak serta kecerdasan seseorang. Kepribadian juga merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ia akan ikut menentukan sukses tidaknya seseorang. Kepribadian meskipun ia merupakan faktor yang penting dalam kejiwaan dan berada pada tataran rohani namun wujudnya dapat terlihat pada tingkah laku dan sikap hidup seseorang.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ 
Artinya : “Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia. Kalian menyuruh yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Dan kalian beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Demikian firman Allah SWT, yang seharusnya diusahakan oleh ummat Islam perwujudannya, yakni menjadi ummat terbaik, ummat terunggul. Berkemampuan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Tapi, faktanya sekarang ini masih jauh dari harapan.

Tanpa menutup mata terhadap gejala kebangkitan di sana-sini yang mulai nampak, secara umum nasib ummat Islam tidak menggembirakan. Ummat dan negeri-negeri Islam, sama sekali tidak berdaya menyelesaikan problemanya sendiri, Mengapa demikian? Gejala penyebab yang melanda  ummat muslim adalah “cinta dunia dan takut mati”. Maka ummat Islam memerlukan perbaikan.

A.    PENGERTIAN KEPRIBADIAN

Kepribadian dalam bahasa Arab disebut as-syakhshiyyah, berasal dari kata syakhshun,  artinya, orang atau seseorang atau pribadi. Kepribadian bisa juga diartikan identitas seseorang (haqiiqatus syakhsh). Kepribadian atau syakhshiyyah seseorang dibentuk oleh cara berpikirnya (aqliyah) dan caranya berbuat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginannya (nafsiyah). [1]

Kepribadian berasal dari kata Personality (bahasa Latin) yang berarti kedok atau topeng. Yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak atau pribadi seseorang. Hal itu dilakukan oleh karena terdapat ciri-ciri yang khas, yang hanya dimiliki oleh seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik, ataupun yang kurang baik. Secara filosofis dapat dikatakan bahwa pribadi adalah ”aku yang sejati” dan kepribadian merupakan “penampakan sang aku” dalam bentuk prilaku tertentu.

Disini muncul gagasan umum bahwa kepribadian adalah kesan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang diperoleh dari apa yang dipikir, dirasakan, diperbuat yang terungkap mealui perilaku.
Selanjutnya berdasarkan pengertian kata-kata tersebut beberapa ahli mengemukakan definisinya sebagai berikut :

a. Hartmann: Susunan yang terintegrasikan dari ciri-ciri umum seseorang individu sebagaimana yang dinyatakan dalam corak khas yang tegas yang diperhatikannya kepada orang lain. [2]

b. William James: kepribadian ialah unsur kesatuan yang berlapis lapis dari diri materi, diri sosial, diri ruhani dan ego murni.

c. Sementara itu John Hocke telah mengemukakan teori tabula, rasa atau papan lilin yang siap untuk digambari, berbeda dengan Islam yang menempatkan fitrah sebagai potensi dasar kejiwaan. [3]

d. Para intelektual Muslim: mendefinisikan kepribadian yakni merupakan bentuk integrasi antara system kalbu, akal dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku.[4]

B.    KEPRIBADIAN ISLAM (SYAKHSHIYAH ISLAMIYAH)

Merujuk pada penjelasan di atas, maka pada hakekatnya kepribadian Islam atau Syakhshiyah Islamiyah terbentuk dari aqliyah Islamiyah (pola pikir Islam) dan nafsiyah Islamiyah (sikap jiwa Islami). Artinya, seseorang dikatakan memilikii syakhshiyah Islamiyah, jika dalam dirinya terbentuk aqliyah dan nafsiyah yang islami.

Aqliyah Islamiyah hanya akan terbentuk dan menjadi kuat pada diri seseorang bila ia memiliki keyakinan yang benar dan kokoh terhadap Aqidah Islamiyah dan ia memiliki ilmu-ilmu keislaman yang cukup untuk bersikap terhadap berbagai ide, pandangan, konsep dan pemikiran yang ada di masyarakat, kemudian pandangan dan konsep tersebut distandarisasi dengan ilmu dan nilai-nilai islami.  Untuk memperoleh Aqliyah islamiyah yang kuat, hanya bisa diraih dengan cara menambah khasanah ilmu-ilmu islam (tsaqofah islamiyah), sebagaimana dorongan islam bagi umatnya untuk terus menerus menuntut ilmu kapanpun dan dimanapun.

Sedangkan Nafsiyah Islamiyah hanya akan terbentuk dan kuat bila seseorang menjadikan aturan-aturan islam sebagai cara memenuhi kebutuhan biologisnya (makan, minum, berpakaian dll) Nafsiyah islamiyah dapat ditingkatkan dengan selalu melatih diri untuk berbuat taat, terikat dengan aturan islam dalam segala hal dan melaksanakan amalan-amalan ibadah , baik yang wajib maupun yang sunah serta membiasakan diri untuk meninggalkan yang makruh dan subhat apalagi haram.  Islampun mengajarkan agar kita senantiasa berahlak mulia, bersikap wara’ dan qanaah agar mampu menghilangkan kecenderungan yang buruk dan bertentangan dengan islam.

Kepribadian seorang Muslim berarti menuntut agar jiwanya selalu hidup dengan nur ilahi. Inilah yang membedakan antara kepribadian menurut konsep Islam. Kepribadian bagi seorang Muslim ialah yang senantiasa menjaga hatinya untuk selalu taat kepada Allah SWT dan berbahagia karena dekat kepada Allah SWT sehingga memperoleh sinarnya dengan  senantiasa mengerjakan ibadah dan amal saleh lainya.. sedangkan hati yang kotor dan ingkar kepada Allah SWT yang muncul dari anggota badannya adalah sifat keji yaitu bekas hati yang kotor dan gelap tanpa sinar. (5)

Jadi, seseorang dikatakan memiliki syakhshiyah Islamiyah, jika ia memiliki aqliyah dan nafsiyah yang Islami, lepas dari kuat atau lemahnya syakhshiyah Islamiyah yang dimilikinya. Setiap orang yang berfikir atas dasar Islam dan menjadikan nafsunya tunduk di bawah aturan Islam, berarti ia memiliki syakhshiyah Islamiyah. Tak jadi soal apakah ia seorang yang taat luar biasa kepada Allah SWT –menjalankan amalan fardhu dan sunnah sebanyak-banyaknya-, atau ia sekedar menjalankan yang fardhu dan menjauhi yang haram (pas-pasan).

Tetapi perlu dicatat, Islam tidak menganjurkan ummatnya memiliki kepribadian Islam yang pas-pasan. Yang dibutuhkan Islam adalah kepribadian yang tangguh, kuat aqidahnya, tinggi tingkat pemikirannya, dan taat mengerjakan ajaran-ajaran Islam, bukan pribadi yang laksana buih, mudah berubah, gampang goncang dan rapuh. Pribadi-pribad semacam ini tidak akan tahan lama. Apalagi menghadapi tantangan zaman seperti sekarang ini. Ia akan mudah lenyap ditelan masa.

C.    POLA  DAN CIRI – CIRI KEPRIBADIAN MUSLIM

Kepribadian merupakan “keniscayaan”, suatu bagian dalam (interior) dari diri kita yang masih perlu digali dan ditemukan agar sampai kepada keyakinan siapakah diri kita yang sesungguhnya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT telah menerangkan model kepribadian manusia yang memiliki keistimewaan dibanding model kepribadian lainnya.

Di antaranya adalah Surah al-Baqarah [2] ayat 1-20. Rangkaian ayat ini menggambarkan tiga model kepribadian manusia, yakni kepribadian orang beriman, kepribadian orang kafir, dan kepribadian orang munafik.

Berikut ini adalah sifat-sifat atau ciri-ciri dari kepribadian muslim sesuai Al-Qur'an dan Sunnah, yang merupakan dua pusaka Rasulullah Saw yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Pribadi muslim yang dikehendaki oleh Al-Qur'an dan sunnah adalah pribadi yang shaleh, pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah SWT.  Ada sepuluh profil atau ciri khas yang harus lekat pada pribadi muslim, yaitu:

1.     Salimul Aqidah

Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah SWT dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan- ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah SWT sebagaimana firman-Nya :
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya:  'Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam' (QS Al-An’am :162).

2.     Shahihul ‘Ibadah

Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting, dalam satu haditsnya; beliau menyatakan: 'shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.' Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.

3.    Matinul Khuluq

Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah SWT maupun dengan makhluk-makhluk-Nya.

4.    Qowiyyul Jismi

Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah SWT dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Mu'min yang kuat lebih aku cintai daripada mu'min yang lemah'” (HR. Muslim).

5.    Mutsaqaful Fikri

Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful fikri) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan Al-Qur'an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berpikir, dalam firman Allah SWT:

يَسْئَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَآإِثْمُُ كَبِيرُُ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا وَيَسْئَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلأَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ {219}

Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: 'pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: 'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir” (QS Al Baqarah :219).

6.    Mujahadatun Linafsihi

Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatun linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu.
Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam)” (HR. Hakim).

7.    Haritsun 'ala Waqtihi

Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al-Qur'an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya. Allah SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam sehari semalam.
Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: 'Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu'. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memanage waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia.
Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah: “memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.

8.    Munazhzhamun fi Syu'unihi

Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur'an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah SWT menjadi cinta kepadanya.

9.    Qodirun 'alal Kasbi

Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi.

10.    Naafi'un Lighoirihi

Bermanfaat bagi orang lain (nafi'un lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”. (HR. Bukhari Muslim). (6)

D.    METODE MEMPERKUAT SYAKHSHIYAH ISLAMIYAH

Memang terlalu sederhana jika kita hanya bicara soal ‘ada atau tidaknya’ syakhshiyah Islamiyah pada seseorang. Yang lebih penting bagaimana membentuk syakhshiyah Islamiyah yang kuat dan tangguh, atau pribadi muslim yang cerdik, cekatan, tawadhu, istiqomah dan tawakal. Maka syakhshiyah yang terbentuk, jangan dibiarkan apa adanya saja. Jangan disia-siakan apalagi dihancurkan. Pribadi harus diperkuat, ditumbuhkan dan dikembangkan.
Caranya, dengan meningkatkan kualitas aqliyah dan nafsiyah Islamiyah. Kualitas aqliyah Islamiyah ditingkatkan dengan menambah perbendaharaan khazanah keilmuan Islam (tsaqofah Islamiyah). Sedangkan kualitas nafsiyah Islamiyah ditingkatkan dengan melatih diri melakukan ketaatan, menjalankan ibadah-ibadah yang diperintahkan Allah SWT. Dengan demikian syakhshiyah Islamiyah akan meningkat terus-menerus, seiring dengan bergulirnya waktu. Semakin tua usia, semakin meningkat kualitas pribadi yang dimiliki. Pemikiran Islamnya bertambah cemerlang, jiwanya semakin mantap, dan ia semakin dekat dengan Allah SWT.
Karena itu, Islam memerintahkan setiap muslim agar memiliki semangat mencari ilmu, kapan dan di manapun. Dengan perbendaharaan ilmu-ilmu Islam yang cukup, diharapkan ia akan mampu menangkal semua bentuk pemikiran yang merusak dan bertentangan dengan Islam. Selembut apapun pemikiran yang merusak itu, akan mampu ia tangkal. Juga dengan itu diharapkan ia akan mampu mengembangkan keilmuan Islam. Atau, jika mungkin, ia akan mencapai tingkat mujahid atau mujaddid.
Untuk memperkuat nafsiyah Islamiyah, Islam memerintahkan setiap muslim mengerjakan amalan-amalan fardhu dan sejauh mungkin menghindari hal yang haram. Juga Islam menganjurkan setiap muslim agar selalu menyuburkan amalan-amalan sunnah, menjauhi hal-hal yang makruh dan dengan sikap wara’ meninggalkan yang subhat. Jika di kerjakan semua itu, nafsiyah menjadi kuat dan mampu menolak setiap kecenderungan yang bejat dan bertentangan dengan Islam. Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits Qudsi:

“… dan tidaklah bertaqarrub (beramal) seorang hamba-Ku dengan seseuatu yang lebih Aku sukai seperti bila ia melakukan amalan fardhu yang Aku perintahkan atasnya, kemudian hamba-Ku senantiasa bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga aku mencintainya….” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)

Dengan demikian, telah jelas bahwa pembentukan syakhshiyah Islamiyah dimulai dengan penetapan aqidah Islam dalam diri seseorang, lalu difungsikan sebagai tolok ukur (miqyas) dalam setiap aktivitas berfikir dan pemenuhan kebutuhannya. Kesalahan pada manusia dapat saja terjadi. Suatu saat pemikirannya dapat terlepas dari aqidah, demikian juga kecenderungannya. Ia mungkin lalai, atau ia tidak tahu tentang soal itu. Apakah benar atau salah, halal atau haram.

E.    UNSUR – UNSUR PELEMAH SYAKHSHIYAH ISLAMIYAH

Seorang muslim adalah manusia biasa, ia bukan malaikat dan bukan iblis. Karena itu wajar jika kadang-kadang melakukan perbuatan haram, atau malas mengerjakan perintah-perintah Allah SWT. Sekali, dua kali atau beberapa kali bisa saja itu terjadi pada dirinya, mungkin ia lalai. Bisa juga ia tidak tahu, bahwa perbuatan itu bertentangan dengan Islam dan sifat-sifat mulia seorang pribadi muslim. Atau mungkin setan telah merasuk dalam dirinya dan nafsu telah mencengkramnya, sehingga ia terjerumus dalam perbuatan dosa. Ia melakukan itu semua, sementara aqidah Islam bersemayam di dalam dirinya.

Ada yang menganggap melakukan perbuatan dosa berarti telah mengeluarkan seseorang dari Islam. Melakukan perbuatan yang berlawanan dengan sifat seorang muslim, berarti menghapus syakhshiyah Islamiyah pada diri seorang muslim.

Itu tidak benar. Tingkah laku seorang muslim yang bertentangan dengan Islam, tidak otomatis menghilangkan syakhshiyahnya. Apalagi mengeluarkannya dari Islam. Tapi secara berangsur-angsur perbuatan itu akan menggerogoti syakhshiyahnya. Jika hal itu terus dilakukannya, maka syakhshiyahnya makin melemah.

Selama aqidah Islam masih ada dalam dirinya maka ia tetap seorang muslim, walaupun perbuatan-perbuatan maksiat tak henti-hentinya ia lakukan. Dan selama aqidahnya itu digunakan sebagai tolok ukur bagi pemikiran dan perbuatannya, maka dapat dikatakan bahwa ia memiliki syakhshiyah Islamiyah selemah apapun. Seorang muslim tidak akan kehilangan syakhshiyahnya, selama ia belum keluar dari Islam. Ia tidak akan keluar dari Islam, Selama aqidah Islam masih dipeluknya. Ia tidak akan kehilangan syakhshiyahnya, kecuali jika ia hanya membiarkan aqidahnya bersemayam di hati, tidak difungsikannya sebagi tolok ukur bagi pemikiran dan kecenderungannya. Atau ia menggunakan aqidah dan tata nilai lain –selain Islam-. Karena itu bisa saja terjadi ada seorang muslim, tetapi tidak memiliki syakhshiyah Islamiyah.

Hanya dengan pengakuan aqidah islam, belum tentu memiliki syakhshiyah Islamiyah, sebab ikatan aqidah dengan pemikiran manusia bukan bersifat mekanis yang secara otomatis bergerak bersama. Tapi antara keduanya memiliki kecenderungan memisah dan bertemu. Karenanya jangan heran, apabila ada orang-orang yang mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan aqidahnya. Yang penting tatkala ia sadar, yang ia lakukan bertentangan dengan aqidahnya, ia segera bertobat kembali ke jalan yang benar.

Jadi, seseorang yang melakukan penyelewengan terhadap perintah dan larangan Allah SWT, tidak berarti ia kehilangan aqidahnya. Hanya saja ia telah merusak ikatan aqidah dengan amal perbuatannya. Ia dipandang sebagai orang yang bermaksiyat kepada Allah SWT. Di hari kiamat nanti, ia akan disiksa karena melakukan perbuatan itu.

Penjelasan itu tidak berarti membuka peluang –apalagi mendorong- seorang muslim untuk mengkhianati Allah SWT dan Rasul-Nya. Seorang muslim tidak boleh melakukan itu. Sebab larangan dalam Al Qur’an sudah teramat jelas. Dan siksa di akhirat teramat pedih. Allah SWT berfirman: 

ياايها الذين امنوا لا تخونوا الله والرسول وتخونوا امنتكم وانتم تعلمون

Artinya :“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan jangan pula mengkhianati amanat-amanat (yang dilimpahkan) bagimu padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Anfal: 27)

Untuk dapat memiliki syakhshiyah Islamiyah, seorang muslim bukan berarti harus mengembangkan sifat-sifat yang berlebihan di luar petunjuk Syari’at. Seorang muslim adalah manusia. Dan syakhshiyah Islamiyah itu ada pada manusia, bukan pada malaikat.Jika seorang terjerumus dalam dosa, tidak berarti dia telah mengganti syakhshiyah-nya dengan selain Islam. Tapi jika melepas aqidah Islamnya, maka lepaslah syakhshiyahnya. Tiada gunanya ia melakukan amal perbuatan apa pun.

Karena itu, yang terpenting adalah soal keselamatan aqidah Islam. lalu dengan aqidahnya itu ditetapkannya pemikiran dan kecenderungan dirinya. Ingatlah, saat ini terlalu banyak hal yang mengancam keselamatan aqidah. Faham-faham sekularisme, penerimaan terhadap sebagian yang lain, pemelukan faham kebebasan gaya Barat. Jika seorang telah kufur, maka tidak berguna seluruh amal kebaikannya. Amalannya laksana debu yang dihambur-hamburkannya. Dia akan dijebloskannya ke dalam neraka.

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ} [الأنفال: 27]

F.    TELADAM SYAKHSHIYAH ISLAMIYAH

Kiranya tak perlu disangsikan lagi perihal kepribadian para sahabat dan tabi’in. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk melaksanakan setiap anjuran Rasulullah. Tak heran bila kita dibuat takjub oleh pengalaman mereka yang demikian konsisten, seperti batu karang di tengah gelombang kekufuran yang dahsyat menimpa. Dari perilaku sahabat-sahabat itu, kita pun bisa menilai betapa suksesnya Rasulullah membina dan menempa pribadi-pribadi mereka. Keberhasilan itu sampai kini tak tertandingi hingga semerbak harumnya masih dapat kita rasakan setelah empat belas abad berlalu dari masa beliau.

Ciri khas syakhshiyah pada sahabat dan tabi’in berbeda-beda sesuai dengan tingkatan ilmu, aqliyah, kemampuan hafalan Al-Quran dan hadits Rasul. Abu Ubaidah bin Zarrah adalah salah seorang sahabat yang demikian teguh keimanannya. Beliau pantas menduduki jabatan khalifah, sehingga Abu Bakar sendiri pernah mencalonkannya sebagai khalifah dan menunjuknya ketika terjadi musyawarah di Tsaqifah Bani Sa’idah. Hal ini mengingat keahlian dan keamanahannya. Abu Ubaidah termasuk salah seorang sahabat yang menguasai dan hafal Al-Quran seluruhnya. Beliau pun mempunyai sifat amanah.

Selain itu beliau memiliki sifat terpuji, lapang dada dan tawadhu’. Sangat tepatlah bila Abu Bakar mengangkatnya sebagai pengelola Baitul Maal dan pada saat yang lain beliau dipercaya sebagai komandan pasukan untuk membebaskan Syam.

Di kalangan sahabat terkenal pula seorang dermawan bernama Thalhah bin Zubeir, yang oleh Rasulullah pernah dijuluki Thalhah bin Khoir (Thalhah yang baik) dalam perang Uhud. Karena kedermawanannya ia juga mendapat gelar-gelar lain yang serupa, semisal Thalhah Fayyadl (Thalhah yang pemurah) pada saat perang Dzul ‘Aisyiroh, dan Thalhah Al Juud (Thalhah yang pemurah) dalam perang Khaibar. Beliau sering menyembelih unta untuk dibagikan kepada rakyat dan selalu menyediakan air untuk kepentingan umum. Beliau tak pernah lupa menyediakan kebutuhan orang faqir yang ada di sekeliling kaumnya (bani Tim) dan selalu melunasi hutang-hutang mereka.

Beliau tidak pernah absen dalam setiap peperangan sejak masa Nabi Muhammad saw hingga masa Khalifah Utsman bin Affan. Demikian tinggi semangat jihadnya dengan lapang dada beliau menjual rumahnya untuk kepentingan jihad fi sabilillah. Rupanya andil yang tidak kecil inilah yang menyebabkan Zubeir bin Awwam termasuk salah satu dari enam orang yang berhak menduduki jabatan Khalifah menjelang berakhirnya masa Umar bin Khathab.

Figur lain di antara sahabat yang ditunjuk Umar sebagai calon Khalifah adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau adalah seorang dermawan yang memberikan sebagian besar hartanya untuk kepentingan jihad fi sabilillah.

Selain itu, diantara yang layak menduduki jabatan Khalifah dan komandan pasukan adalah Khalid bin Said bin Ash. Beliau diangkat oleh Rasul sebagai Wali di San’a (Yaman), kemudian di masa Abu Bakar beliau diangkat sebagai komandan pasukan untuk membebaskan Syam. Sedangkan saudaranya yang bernama Abban, pada tahun 9 Hijriyah diangkat oleh Rasulullah sebagai Wali di Bahrain.

Di antara sahabat yang mempunyai keahlian di bidang pemerintahan dan perancangan tata kota adalah Utbah bin Hazwan. Beliau diangkat oleh Umar bin Khaththab sebagai Wali sekaligus menata kota Bashroh. Ada pula sahabat terkenal ahli pidato adalah Tsabit bin Qois, Abdullah bin Rawabah, Hasan bin Tsabit dan Ka’ab bin Malik. Dan tidak ketinggalan, sahabat Utsman bin Affan yang terkenal dengan sifat pemalunya.

Masih ada empat orang sahabat yang terkenal kecerdikannya, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan yang mempunyai jiwa tenang dan lapang dada, Amr bin Ash yang ahli memecahkan masalah pelik dan cepat berfikirnya, Mughiroh bin Syu’bah yang mampu memecahkan masalah besar dan genting, serta Ziyad yang ahli dalam masalah kecil maupun besar.

Selain itu di masa sahabat terdapat seorang sahabat yang mampu berbicara dalam seratus bahasa. Ini adalah kemampuan yang tak tertandingi oleh bangsa dan ummat yang lain hingga kini. Beliau adalah Abdullah bin Zubeir. Adapun sahabat Zaid bin Tsabit mempunyai keahlian dalam bidang qadla/kehakiman dan fatwa. Sahabat yang ahli dalam pengkajian kitab Taurat adalah Abdullah bin Amr bin Ash dan Abil Jalad Al-Jauli. Di masa sahabat, ilmu astronomi telah terkenal. Sahabat yang mashur di bidang ini adalah Rabi’ bin Ziyad. Pada masa tabi’in tersebutlah Khalid bin Yazid bin Muawiyah yang ahli dalam berbagai cabang ilmu di kalangan Quraisy. “Beliau memiliki keahlian dalam teori kimia dan kedokteran” Beliau pun banyak menerjemahkan literatur mengenai Astronomi, kedokteran dan Kimia. Dan masih banyak lagi sahabat yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam berbagai disiplin ilmu.

DAFTAR PUSTAKA


1.    Syekh Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah,  jilid I , hlm. 5
2.    Siti Maisyaroh, dalam pengertian kepribadian muslim, http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2191444-pengertian-kepribadian-muslim/ dikases pada: Jum’at, 29 Agustus 2014. Pkl. 15.10 WIB
3.    Drs. H. Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, hlm. 116
4.    Abdul Mujib, M.Ag dan Yusuf Mudzakir, M.Si, Nuansa Nuansa Psikologi Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 58
5.    Imam al Gazali, Ihya Ulumuddin,Bab Keajaiban Hati, terj. H. Ismail Yakub, Jakarta, Faisan, 1984, hlm.5
6.    Intan, Ciri – Ciri Pribadi Muslim, dalam http://kmmtp.lifeme.net/t45-ciri-ciri-pribadi-muslim diakses pada: Jum’at, 29 Agustus 2014 Pkl. 15.30 WIB
7.    http://sabri1a.wordpress.com/category/khilafah/syaksiyah-islamiyah diakses pada Rabu, 27 Agustus 2014 Pkl. 14.00 WIB
8.    http://afifulikhwan.blogspot.com/2012/06/kepribadian-muslim.html diakses pada Rabu, 27 Agustus 2014 Pkl. 14.05 WIB
9.    http://voiceofmuslimahbekasi.wordpress.com/2009/05/15/kepribadian-islam-syaksiyah-islamiyah diakses pada Rabu, 27 Agustus 2014 Pkl. 14.10 WIB




Comments

Popular posts from this blog

Metode Dakwah

Kuliner Purworejo

Analisis Jurnal Traksaksi Akuntansi pada KSU MIKAT AL KHIDMAH