Pengelolaan Hutan Negara Bag II

SOLUSI ISLAM TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN INDONESIA

SEBAGAI SUMBERDAYA MILIK UMUM

<<--- LANJUTAN BAGIAN I

C.    HUTAN SEBAGAI SUMBERDAYA MILIK UMUM

     Hakikatnya, hutan adalah milik Allah, SWT yang diamanahkan kepada manusia untuk memelihara dan mengelolanya dengan sebaik-baiknya. Allah, SWT sebagai pencipta manusia dan seluruh alam raya ini berikut segala isinya termasuk hutan telah membekali manusia guna mengemban tugasnya di bumi dengan seperangkat aturan dan hukum yang jelas dan tegas yakni syariat Islam. Islam telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan termasuk dalam kepemilikan umum. Tercakup dalam sektor ini adalah barang tambang, minyak, gas, listrik, dan sebagainya. Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi saw di atas. Hadits tersebut menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai ‘illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak.
     Dengan demikian, hutan adalah milik umum, karena di-qiyas-kan atau dianalogkan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifatnya yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi dan menguasai hajat hidup orang banyak.

D.    FAKTA PENGELOLAAN HUTAN INDONESIA

     Hutan Indonesia yang luasnya 120 juta hektar dan merupakan 60 % luas daratan Indonesia, sebenarnya merupakan kekayaan alam yang sangat penting dan strategis . Namun kekayaan itu tidak banyak gunanya bagi rakyat, karena pengelolaannya gagal.
     Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan sebenarnya telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Namun, kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya penyusutan hutan secara besar-besaran dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia.
     Hal itu dimulai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Seiring dan sejalan dengan hal tersebut, diterbitkan pula Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang memberi ruang yang lebar bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya diikuti pula dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan para pengusaha besar untuk menguasai dan membabat hutan guna membesarkan modalnya
Meski dalam Forest Agreement tidak menyebutkan bahwa penguasaan pengelolaan sumbe daya alam (hutan) tersebut bukan dalam bentuk hak milik, namun yang berhak memiliki hasil bersih dari sumber daya hutan yang telah dieksploitasi tersebut tetaplah para pemegang sahamnya.
     Kemudian pada tahun 1999, UU Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 direvisi dengan UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999.  Memang, dalam penjelasan Pasal 23 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan bahwa hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok atau golongan tertentu. Oleh karena itu pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peningkatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan boleh diserahkan kepada perorangan, kelompok atau golongan tertentu selama tidak terpusat atau dengan kata lain harus terdistribusi secara merata.
     Ironisnya, penyerahan pengelolaan hutan oleh negara (dalam hal ini Pemerintah) kepada perorangan, koperasi atau badan usaha milik swasta, dianggap sebagai bentuk dari pengurusan hutan oleh Pemerintah. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 4 UU Nomor 41 Tahun 1999, dimana dijelaskan bahwa penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Padahal, hutan adalah milik umum yang hanya boleh dikelola oleh negara.
     Walhasil, hutan yang semestinya menjadi sumber kekayaan rakyat Indonesia, ternyata hasilnya hampir-hampir tidak dirasakan mayoritas rakyat karena mengalami kegagalan dalam pengelolaannya.
      Irawan (2005) dalam Al-Jawi (2006) menyebutkan bahwa kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah akibat kesalahan pembuat kebijakan, termasuk penyelewengan pelaksanaan regulasi, dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan. Kesalahan pembuat kebijakan itu dengan kata lain sesungguhnya adalah kesalahan ideologis, sebab kebijakan yang terwujud dalam bentuk undang-undang dan peraturan itu tiada lain adalah ekspresi hidup dan nyata dari ideologi yang diyakini pembuat kebijakan. Tegasnya, yang menjadi sumber utama kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah ideologi kapitalisme. Karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu (private property) sebagai premis ekonomi dalam Kapitalisme (Heilbroner, 1991). Wajarlah jika dalam pengelolaan hutan, hutan dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH yang diberikan oleh penguasa. Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang utilitarian telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas (Heilbroner, 1991 dalam Al-Jawi, 2006).
      Pemaparan di atas merupakan fakta riil yang terjadi di Indonesia saat ini. Seharusnya dengan memiliki hutan yang sangat luas dan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, penduduk Indonesia sudah tidak ada lagi yang putus sekolah lantaran tidak punya biaya, tidak ada lagi balita meninggal dunia karena busung lapar, tidak lagi mengenal biaya rumah sakit yang mencekik dan seharusnya penduduk Indonesia makmur sejahtera dan lebih maju dibandingkan negara tetangga. Mengapa hal ini terjadi? Apa yang salah? Apakah orang-orangnya yang tidak pecus dalam menjaga dan mengelola hutan? Ataukah karena sistem yang digunakan untuk mengatur kehidupan ini yang memaksa kita sehingga sumberdaya hutan yang luas dengan nilai ekonomis tinggi tidak berpengaruh sedikitpun terhadap kesejahteraa masyarakat luas?



E.    SOLUSI ISLAM TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN INDONESIA

     Berkaitan dengan rusaknya sistem pengelolaan hutan yang ada di Indonesia saat ini, merupakan suatu akibat dari pengelolaan hutan yang meniadakan hokum-hukum Allah dalam pengaturannya. Hukum syara’ tidak boleh digunakan untuk mengatur urusan publik khususnya untuk mengelola sumberdaya hutan. Islam hanya boleh ada di masjid dan surau-surau. Islam hanya boleh diterapkan dalam aktifitas individu. Islam dikerdilkan yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan sang pencipta seperti sholat, zakat, puasa, dan haji, tak lebih dari itu. Inilah yang disebut dengan sekulerisme. Pemisahan antara agama dengan kehidupan. Padahal di dalam Al Qur’an jelas-jelas diterangkan bahwa yang berhak membuat hukun hanyalah Allah dan manusia hanya berhukum kepada hokum Allah ukan menuruti hawa nafsunya.
     Dalam pandangan Islam, hutan adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan hutan milik umum yang berbasis swasta harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya.
Berikut ini beberapa ketentuan syariah Islam terpenting dalam pengelolaan hutan :
1.    Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.
Syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan (al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah).
2.    Pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing).
Zallum (1983:81-82) menerangkan ada dua cara pemanfaatan kepemilikan umum :
Pertama, untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung. Namun disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) kepada orang lain dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya.
Kedua, untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negaralah --sebagai wakil kaum muslimin-- yang berhak untuk mengelolanya. Atas dasar itu, maka pengelolaan hutan menurut syariah hanya boleh dilakukan oleh negara (Khalifah), sebab pemanfaatan atau pengolahan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar. Sabda Rasulullah SAW : "Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)." (HR. Muslim). Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.
3.    Pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan propinsi/wilayah).
Meskipun pengelolaan hutan menurut syariah adalah di tangan negara, tidak berarti semua urusan hutan ditangani oleh pemerintah pusat (Khalifah). Hal-hal yang menyangkut kebijakan politik, seperti pengangkatan Dirjen Kehutanan, dan kebijakan keuangan (maaliyah), ada di tangan Khalifah sebagai pemimpin pemerintah pusat. Sedangkan hal-hal yang menyangkut administratif (al-idariyah) dalam pengelolaan hutan, ditangani oleh pemerintahan wilayah (propinsi). Misalnya pengurusan surat menyurat kepegawaian dinas kehutanan, pembayaran gaji pegawai kehutanan, pengurusan jual beli hasil hutan untuk dalam negeri, dan sebagainya.
Dalil untuk ketentuan ini adalah kaidah fikih yang menyatakan : al- ashlu fi al-af'aal al-idariyah al-ibahah (hukum asal aktivitas administrasi/manajerial adalah boleh). Jadi pada dasarnya urusan administrasi itu adalah boleh bagi Khalifah untuk menetapkannya sendiri, dan boleh juga Khalifah mendelegasikannya untuk ditetapkan dan ditangani oleh Wali (Gubernur) di daerah.
4.    Negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam Baitul Mal (Kas Negara) dan mendistribusikan dananya sesuai kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum-hukum syariah.
Segala pendapatan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul Mal) dari sector kepemilikan umum. Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariah Islam.
Kaidah fikih menyebutkan : "Tasharruf al-Imaam ‘alaa al-ra’iyyah manuuthun bi al-maslahah." (Kebijakan Imam/Khalifah dalam mengatur rakyatnya berpatokan pada asas kemaslahatan) (Lihat Imam Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir fi Al-Furu’)
5.    Negara boleh melakukan kebijakan hima atas hutan tertentu untuk suatu kepentingan khusus.
Hima artinya kebijakan negara memanfaatkan suatu kepemilikan umum untuk suatu keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah. Dalil bolehnya negara melakukan hima adalah hadits bahwa Rasulullah SAW telah melakukan hima atas Naqii’ (nama padang gembalaan dekat Madinah) untuk kuda-kuda perang milik kaum muslimin (HR Ahmad dan Ibnu Hibban) (Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya` al-Aradhi al-Amwat fi Al-Islam, h. 105) . Maka dari itu, negara boleh melakukan hima atas hutan Kalimantan misalnya, khusus untuk pendanaan jihad fi sabilillah. Tidak boleh hasilnya untuk gaji dinas kehutanan, atau untuk membeli mesin dan sarana kehutanan, atau keperluan apa pun di luar kepentingan jihad fi sabilillah.
6.    Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan.
Fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Muhtasib misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan. Muhtasib bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan. Sedangkan fungsi pengawasan keuangan, dijalankan oleh para Bagian Pengawasan Umum (Diwan Muhasabah Amah), yang merupakan bagian dari institusi Baitul Mal (Zallum, 1983).
7.    Negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.
Dalam kaidah fikih dikatakan, "Adh-dlarar yuzal", artinya segala bentuk kemudharatan atau bahaya itu wajib dihilangkan. Nabi SAW bersabda, "Laa dharara wa laa dhiraara." (HR Ahmad & Ibn Majah), artinya tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain. Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang peraturan teknis yang penting. Antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan. Misalnya teknologi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya.
8.    Negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan.
Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan). Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. Seorang cukong illegal loging, misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan TV nasional. Jenis dan kadar sanksi ta’zir dapat ditetapkan oleh Khalifah dalam undang-undang, atau ditetapkan oleh Qadhi Hisbah jika Khalifah tidak mengadopsi suatu undang-undang ta’zir yang khusus.

F.    KESIMPULAN

      Air, listrik, padang rumput termasuk juga hutan, minyak bumi, dan barang-barang tambang lainnya adalah harta kekayaan yang diciptakan Allah SWT untuk menjadi milik umat yang tidak boleh dirampas oleh siapapun. Jika negara menguasainya, maka itu hanyalah untuk mencegah agar tidak dikuasai pihak asing! Yang lebih penting dari itu, agar khalifah dapat mengatur pemanfaatan untuk kepentingan seluruh rakyat karena merekalah pemilik yang sesungguhnya.
    Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia harus mulai membangun paradigma-paradigma transformatif berbasiskan syari’at Islam dalam mengelola SDA agar pemanfaatannya berkelanjutan. Tanpa itu, eksploitasi atas SDA oleh pihak asing maupun para kapitalis akan semakin merajalela. Rakyat akhirnya menjadi korban dengan dalih pembangunan.





DAFTAR PUSTAKA

1.    An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, (Beirut : Darul Ummah, 1990)
2.    Irawan, Bambang, "Pembenahan Sistem Silvikultur Hutan Produksi di Indonesia", dalam Ahmad Erani Mustika (Ed.), Menjinakkan Liberalisme : Revitalisasi Sektor Pertanian & Kehutanan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005)
3.    Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, (Beirut : Darul ‘Ilmi lil Malayin, 1983
4.http://dewinoviantinov.wordpress.com/2014/01/16/hakikat-kepemilikan-pengelolaan-sumber-daya-hutan/  diakses pada Kamis, 06 November 2014
5.    http://www.republika.co.id/berita/shortlink/49820  diakses pada Kamis, 06 November 2014
6. http://agamadanekologi.blogspot.com/2007/03/pengelolaan-hutan-berdasarkan-syariah.html diakses pada Kamis, 06 November 2014
7.    http://www.bogormilikallah.com/pandangan-islam-tentang-kepemilikan-umum-pengelolaannya/ diakses pada Kamis, 06 November 2014
8.    http://www.bps.go.id/index.php diakses pada Kamis, 06 November 2014

Comments

Popular posts from this blog

Metode Dakwah

Kuliner Purworejo

Analisis Jurnal Traksaksi Akuntansi pada KSU MIKAT AL KHIDMAH