Al Qur'an & Perintah Menyampaikannya
Al Qur'an adalah kitab suci umat islam, kitap penyempurna. Mempelajari dan membacanya adalah ibadah, apalagi mendakwahkannya. Mari tumbuhkan kebiasaan membumikan Al-Qur'an.
Sampaikan olehmu walau 1 ayat
Sampaikan olehmu walau 1 ayat
Selamat membaca
MEMBUMIKAN AL QUR’AN
A. PENGERTIAN AL QUR’AN
Secara bahasa Al Qur’an berasal dari bahasa Arab yaitu qarr-yaqrau-quraanan yang berarti bacaan. Hal itu dijelaskan sendiri oleh Al-qur`an dalam Surah Al-Qiyanah ayat 17-18.
“Sesungguhnya mengumpulkan Al Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan kami. (karena itu) jika kami telah membacakannya hendaklah kamu ikuti bacaannya”.
Secara istilah Al-Qur`an adalah : "Kalam ALLAH yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang diturunkan secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah"
“Sesungguhnya mengumpulkan Al Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan kami. (karena itu) jika kami telah membacakannya hendaklah kamu ikuti bacaannya”.
Secara istilah Al-Qur`an adalah : "Kalam ALLAH yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang diturunkan secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah"
B. TUJUAN HIDUP MANUSIA (MAKNA DASAR)
Tujuan hidup manusia memiliki arti yang sangat penting, sebab la menentukan arti atau makna kehidupannya. Manusia akan berpikir dan bekerja siang malarn dengan segala pengorbanan untuk mencapai apa‑apa yang menjadi tujuannya.
Berkaitan dengan tujuan hidup ini, Al Qur'an telah memberikan informasi yang menjadi dasar dan pondasi kehidupan manusia. Sebab ia merupakan pedoman bidup bagi manusia.
Maka tujuan hidup manusia ini memang memiliki makna yang sangat mendasar. Sebab tanpa tujuan, tidak akan jelas arah dan tuiuan hidup manusia yang akan dicapai. Di samping argumen tersebut, Al Qur'an dengan jelas menyebutkan bahwa Allah Swt ketika menciptakan manusia memiliki tujuan. Tujuan‑tujuan tersebut dapat kita telusuri dari informasi Al Qur’an sebagai berikut :
“Maka apakah kamu sekalian mengira bahwa Aku menciptakan kamu secara main‑main dan bahwa kamu mengira tidak akan dikembalikan kepada Kami” (QS. 23:115)
“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)” (QS. 75:36)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: “kami telah beriman sedang mereka tidak diuji lagi” (QS. 29:2)
Dari sederet ayat tersebut, kita dapat menarik kesimpulan sementara bahwa diciptakannya manusia oleh Allah tidak main‑main, akan tetapi memiliki maksud dan tujuan seperti dengan penuh keseriusan dan manusia selama hidupnya akan diuji dan diminta pertanggungjawaban.
Berkaitan dengan tujuan hidup ini, Al Qur'an telah memberikan informasi yang menjadi dasar dan pondasi kehidupan manusia. Sebab ia merupakan pedoman bidup bagi manusia.
Maka tujuan hidup manusia ini memang memiliki makna yang sangat mendasar. Sebab tanpa tujuan, tidak akan jelas arah dan tuiuan hidup manusia yang akan dicapai. Di samping argumen tersebut, Al Qur'an dengan jelas menyebutkan bahwa Allah Swt ketika menciptakan manusia memiliki tujuan. Tujuan‑tujuan tersebut dapat kita telusuri dari informasi Al Qur’an sebagai berikut :
“Maka apakah kamu sekalian mengira bahwa Aku menciptakan kamu secara main‑main dan bahwa kamu mengira tidak akan dikembalikan kepada Kami” (QS. 23:115)
“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)” (QS. 75:36)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: “kami telah beriman sedang mereka tidak diuji lagi” (QS. 29:2)
Dari sederet ayat tersebut, kita dapat menarik kesimpulan sementara bahwa diciptakannya manusia oleh Allah tidak main‑main, akan tetapi memiliki maksud dan tujuan seperti dengan penuh keseriusan dan manusia selama hidupnya akan diuji dan diminta pertanggungjawaban.
C. TUJUAN HIDUP BERKAITAN DENGAN MEMBUMIKAN AL QUR’AN
Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman, Sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS, 17:9).
Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah Swt menugaskan Rasulullah Saw., untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: “Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir” (QS 16:44).
Disamping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah Saw., Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar memperhatikan dan mempelajari Al Qur’an: “Tidaklah mereka memperhatikan isi Al-Quran, bahkan ataukah hati mereka tertutup” (QS 47:24).
Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah Swt menugaskan Rasulullah Saw., untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: “Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir” (QS 16:44).
Disamping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah Saw., Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar memperhatikan dan mempelajari Al Qur’an: “Tidaklah mereka memperhatikan isi Al-Quran, bahkan ataukah hati mereka tertutup” (QS 47:24).
1. Pengertian Membumikan Al Qur’an
Ungkapan “Membumikan Al Qur`an” secara implisit mengandung makna bahwa Al Qur`an kini masih “melangit” sehingga karenanya perlu dibumikan. Tentunya dalam pengertian hakikinya, Al Qur`an sebenarnya telah membumi begitu Allah menurunkan ayat Al Qur`an yang terakhir kepada Rasulullah Saw. Maka yang dimaksud dengan ungkapan “Membumikan Al Qur`an” sebenarnya adalah maknanya yang majazi (metaforis), bukan makna hakikinya.
Dalam makna metaforiknya, perkataan “Membumikan Al Qur`an” mengisyaratkan “jauhnya” Al Qur`an dari kenyataan kehidupan yang kita hadapi. Padahal, idealnya Al Qur`an itu “dekat” dengan kita. Dekat dengan kehidupan kita di sini, dan saat ini. Jadi “membumikan Al Qur`an” mengandung pengertian adanya upaya untuk mewujudkan “yang jauh” menjadi “yang dekat”, yakni mendekatkan dua kondisi yang berbeda, kondisi ideal Al Qur`an (das sollen) di satu sisi, dan kondisi nyata kehidupan umat (das sein), di sisi lain. Sekarang –katakanlah– yang diterapkan hanya 5 % saja dari Al Qur`an (das sein). Padahal seharusnya 100 % Al Qur`an harus diterapkan (das sollen). Untuk dapat mewujudkan kondisi ideal ini, diperlukan upaya konkrit yang mendasar berupa aktivitas memahami dan menerapkan Al Qur`an itu ke dalam realitas yang ada. Memahami adalah aktivitas yang pertama, sedang buahnya adalah penerapan dalam kenyataan. Berangkat dari sini, maka “Membumikan Al Qur`an” dapat diberi arti sebagai upaya memahami dan menerapkan Al Qur`an secara sempurna dalam realitas.
Namun segera perlu diingatkan di sini bahwa Al Qur`an dan Al Hadits (As Sunnah) sebenarnya adalah satu kesatuan. Maka ketika ada pernyataan “Membumikan Al Qur`an”, dengan sendirinya sudah include di dalamnya “penerapan As Sunnah”. Firman Allah Swt :
“Barangsiapa mentaati Rasul (mengikuti As Sunnah) sesungguhnya ia telah mentaati Allah (Mengiktui Al Qur`an).” (QS An Nisaa` : 80)
Sabda Nabi Saw :“Telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara, yang kalian tak akan tersesat bila berpegang pada keduanya : Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Muslim)
Dengan demikian, membumikan Al Qur`an sesungguhnya dapat dimaknai sebagai upaya untuk memahami dan menerapkan Islam itu sendiri secara sempurna dalam realitas.
Dalam makna metaforiknya, perkataan “Membumikan Al Qur`an” mengisyaratkan “jauhnya” Al Qur`an dari kenyataan kehidupan yang kita hadapi. Padahal, idealnya Al Qur`an itu “dekat” dengan kita. Dekat dengan kehidupan kita di sini, dan saat ini. Jadi “membumikan Al Qur`an” mengandung pengertian adanya upaya untuk mewujudkan “yang jauh” menjadi “yang dekat”, yakni mendekatkan dua kondisi yang berbeda, kondisi ideal Al Qur`an (das sollen) di satu sisi, dan kondisi nyata kehidupan umat (das sein), di sisi lain. Sekarang –katakanlah– yang diterapkan hanya 5 % saja dari Al Qur`an (das sein). Padahal seharusnya 100 % Al Qur`an harus diterapkan (das sollen). Untuk dapat mewujudkan kondisi ideal ini, diperlukan upaya konkrit yang mendasar berupa aktivitas memahami dan menerapkan Al Qur`an itu ke dalam realitas yang ada. Memahami adalah aktivitas yang pertama, sedang buahnya adalah penerapan dalam kenyataan. Berangkat dari sini, maka “Membumikan Al Qur`an” dapat diberi arti sebagai upaya memahami dan menerapkan Al Qur`an secara sempurna dalam realitas.
Namun segera perlu diingatkan di sini bahwa Al Qur`an dan Al Hadits (As Sunnah) sebenarnya adalah satu kesatuan. Maka ketika ada pernyataan “Membumikan Al Qur`an”, dengan sendirinya sudah include di dalamnya “penerapan As Sunnah”. Firman Allah Swt :
“Barangsiapa mentaati Rasul (mengikuti As Sunnah) sesungguhnya ia telah mentaati Allah (Mengiktui Al Qur`an).” (QS An Nisaa` : 80)
Sabda Nabi Saw :“Telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara, yang kalian tak akan tersesat bila berpegang pada keduanya : Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Muslim)
Dengan demikian, membumikan Al Qur`an sesungguhnya dapat dimaknai sebagai upaya untuk memahami dan menerapkan Islam itu sendiri secara sempurna dalam realitas.
2. Mengapa Perlu Membumikan Al Qur’an
Jawabannya kiranya jelas. Bahwa sesungguhnya terdapat jurang yang sangat lebar antara tuntutan Al Qur`an yang ideal dengan kenyataan konkrit yang ada. Al Qur`an misalnya mengandung hukum-hukum kemasyarakatan yang luas, seperti hukum kriminal (uqubat) (lihat Al Baqarah : 178, Al Maidah : 38, An Nuur : 2) dan hukum kemasyarakatan (muamalah) seperti pengaturan masalah sosial, ekonomi, politik, dan bahkan hubungan internasional (Sahilun A. Nasir, Ilmu Tafsir Al Qur`an, 1987, Al Ikhlas, Surabaya, hlm.125 dan 130). Tapi berapa banyakkah di antara hukum itu yang diterapkan?
Adanya kenyataan inilah yang mendorong upaya untuk membumikan Al Qur`an, sebagai respons terhadap realitas yang sangat buruk dalam memperlakukan Al Qur`an. Al Qur`an dalam sistem kehidupan sekularistik sekarang memang secara telanjang hanya dijadikan urusan pribadi, bukan urusan publik atau urusan negara. Kalaupun dijadikan urusan negara, itu pun terbatas pada masalah-masalah ibadah mahdhah seperti ibadah haji, atau muamalah sempit seperti hukum keluarga (al ahwal asy syakhshiyah) seperti nikah, talak, cerai, rujuk, dan waris. Maka dari itu, membumikan Al Qur`an sesungguhnya adalah jawaban terhadap realitas ini.
Adanya kenyataan inilah yang mendorong upaya untuk membumikan Al Qur`an, sebagai respons terhadap realitas yang sangat buruk dalam memperlakukan Al Qur`an. Al Qur`an dalam sistem kehidupan sekularistik sekarang memang secara telanjang hanya dijadikan urusan pribadi, bukan urusan publik atau urusan negara. Kalaupun dijadikan urusan negara, itu pun terbatas pada masalah-masalah ibadah mahdhah seperti ibadah haji, atau muamalah sempit seperti hukum keluarga (al ahwal asy syakhshiyah) seperti nikah, talak, cerai, rujuk, dan waris. Maka dari itu, membumikan Al Qur`an sesungguhnya adalah jawaban terhadap realitas ini.
3. Syarat – Syarat Pembumian Al Qur’an
Seperti diuraikan di muka “Membumikan Al Qur`an” adalah upaya memahami dan menerapkan Al Qur`an secara sempurna dalam realitas. Dari sini dapat dirumuskan bahwa syarat untuk membumikan Al Qur`an ada 2 (dua):
Pertama, adanya pemahaman yang sahih terhadap Al Qur`an.
Pemahaman yang sahih terhadap Al Qur`an diperoleh dengan cara mempelajari Al Qur`an dengan perangkat-perangkat ilmu-ilmu keislaman yang bertolak dari Aqidah Islamiyah (tsaqafah islamiyah). Misalnya ilmu tafsir, ilmu hadits, bahasa Arab, dan sebagainya.
Jadi pemahaman Al Qur`an tidaklah menggunakan perangkat ilmu-ilmu sosial yang lahir dari peradaban Barat, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi (kapitalisme), politik (demokrasi), dan seterusnya. Ilmu-ilmu semacam ini lahir dari aqidah Sekularisme (fashluddin ‘anil hayah), yang secara ideologis tidaklah selaras dengan Al Qur`an.
Kedua, adanya penerapan yang sahih terhadap Al Qur`an.
Penerapan yang sahih terhadap Al Qur`an, adalah penerapan melalui institusi negara (Daulah Khilafah Islamiyah) sebab hanya dengan institusi inilah penerapan Al Qur`an secara sempurna akan dapat diwujudkan. Memang untuk nilai-nilai atau hukum-hukum yang bersifat individual, seperti sholat dan zakat, penerapan Al Qur`an dapat langsung dilakukan oleh individu. Akan tetapi penerapan hukum-hukum kemasyarakatan seperti sistem politik dan ekonomi islam sangatlah mustahil tanpa adanya institusi yang relevan untuk itu, yaitu negara Khilafah.
Pertama, adanya pemahaman yang sahih terhadap Al Qur`an.
Pemahaman yang sahih terhadap Al Qur`an diperoleh dengan cara mempelajari Al Qur`an dengan perangkat-perangkat ilmu-ilmu keislaman yang bertolak dari Aqidah Islamiyah (tsaqafah islamiyah). Misalnya ilmu tafsir, ilmu hadits, bahasa Arab, dan sebagainya.
Jadi pemahaman Al Qur`an tidaklah menggunakan perangkat ilmu-ilmu sosial yang lahir dari peradaban Barat, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi (kapitalisme), politik (demokrasi), dan seterusnya. Ilmu-ilmu semacam ini lahir dari aqidah Sekularisme (fashluddin ‘anil hayah), yang secara ideologis tidaklah selaras dengan Al Qur`an.
Kedua, adanya penerapan yang sahih terhadap Al Qur`an.
Penerapan yang sahih terhadap Al Qur`an, adalah penerapan melalui institusi negara (Daulah Khilafah Islamiyah) sebab hanya dengan institusi inilah penerapan Al Qur`an secara sempurna akan dapat diwujudkan. Memang untuk nilai-nilai atau hukum-hukum yang bersifat individual, seperti sholat dan zakat, penerapan Al Qur`an dapat langsung dilakukan oleh individu. Akan tetapi penerapan hukum-hukum kemasyarakatan seperti sistem politik dan ekonomi islam sangatlah mustahil tanpa adanya institusi yang relevan untuk itu, yaitu negara Khilafah.
Dari dua syarat pembumian Al Qur`an yang dikemukakan di atas, dapat dipahami pula faktor-faktor yang menghambat pembumian Al Qur`an. Yaitu, pertama, adanya ide-ide Barat (seperti demokrasi, pluralisme, HAM) yang dijadikan standar dan pedoman dalam mempelajari Al Qur`an. Kedua, adanya insitusi negara republik yang sekuler. Maka dari itu, mari kita upayakan pembumian Al Qur`an dengan cara memerangi ide-ide Barat yang bertentangan dengan Islam, dan juga menghadirkan kembali institusi negara Islam yang dapat mengemban amanah menerapkan Al Qur`an secara sempurna. Itulah tugas kita bersama.
Jazakumullah
Comments
Post a Comment